|
Kapolda Sulut Irjen Pol Bambang Waskito |
Kapolda:
Harus Lewat Peradilan Fiduisa
MANADO— Aksi debt collector
(penagih utang, red) makin meresahkan warga. Karenanya, tindakan debt
collector menyita kendaraan bermotor (ranmor) nasabah kredit macet,
mendapat perhatian Polda Sulut. Kapolda Sulut Irjen Pol Bambang Waskito menegaskan,
penarikan kendaraan dengan cara paksa, merupakan tindakan pidana. “Karena untuk
penarikan seperti itu, harus lewat peradilan fidusia,” tegas Waskito, jenderal
bintang dua saat diwawancarai Manado Post.
Disarankannya, dealer pro aktif
mendaftar ke peradilan fidusia untuk melakukan penarikan kendaraan. Karena,
kadang dealer itu malas daftar ke peradilan fidusia. Sehingga pakai debt
collector. Padahal, debt collector itu sudah tidak punya arena
lagi (melakukan penarikan, red). “Malahan kalau dealer pake jasa debt
collector, itu bisa kita kenakan pidana,” sorot mantan Kapolda Jawa Barat ini.
Senada Pakar Hukum Pidana Toar Palilingan MH.
Dipaparkannya, Bank Indonesia (BI) dalam Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP tanggal
23 September 2013, mengatur tentang syarat uang muka kendaraan bermotor melalui
bank. Minimal 25% untuk kendaraan roda dua, dan 30% untuk kendaraan roda tiga
atau lebih untuk tujuan nonproduktif. Serta 20% untuk roda tiga atau lebih
untuk keperluan produktif.
Begitu juga Kementerian Keuangan, telah
mengeluarkan peraturan yang melarang leasing atau perusahaan
pembiayaan, menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak kredit
kendaraan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.130/PMK.010/ 2012 tentang pendaftaran Fidusia bagi perusahaan pembiayaan
yang dikeluarkan 7 Oktober 2012.
“Juga, Undang-undang 42/1999, fidusia adalah
suatu proses mengalihkan hak milik atas suatu benda dengan dasar kepercayaan.
Tapi benda tersebut masih dalam penguasaan pihak yang mengalihkan,” terang
Palilingan. “Fidusia umumnya dimasukkan dalam perjanjian kredit kendaraan
bermotor.
Debitur dibebankan membayar biaya jaminan fidusia tersebut,” lanjut
dosen Fakultas Hukum Unsrat.
Menurutnya, pihak leasing wajib
mendaftarkan setiap transaksi kredit di depan notaris atas perjanjian fidusia.
Dengan demikian, perjanjian fidusia ini melindungi aset konsumen. Sehingga
leasing tidak dibenarkan untuk serta merta menarik kendaraan gagal bayar.
Karena dengan perjanjian fidusia, prosedur penyelesaian tunggakan seharusnya
pihak leasing melaporkan ke pengadilan.
Kemudian, melalui mekanisme di pengadilan akan
dilakukan persidangan. Dan pengadilan akan mengeluarkan surat keputusan untuk
dilakukan penyitaan kendaraan. “Kemudian, kendaraan tersebut akan dilelang
pengadilan, dan uang hasil penjualan kendaraan melalui lelang akan digunakan
untuk membayar utang kredit ke leasing. Kalau masih ada kelebihan, uang hasil
lelang diberikan kepada bersangkutan,” urainya.
Tindakan leasing yang sering menarik
paksa melalui jasa debt collector, dengan cara paksa baik kendaraan
yang berada di rumah maupun di jalan, kata Palilingan, merupakan tindak pidana
pencurian dan perampasan. “Mereka bisa dijerat Pasal 368, Pasal 365 KUHP,”
tandasnya.
Sementara itu, perlakuan kasar oknum petugas FIF
kepada nasabah di Bitung, diklaim pihak FIF, sebelumnya sudah melakukan upaya
persuasif. Bahkan sudah berlandaskan Fidusia. “Pastinya kita punya dasar kuat.
Tidak ada tindakan tanpa prosedur. Sebelumnya, kita coba hubungi dengan telepon
dulu. Setelahnya, kita berikan somasi atau surat teguran. Berlanjut ke surat
peringatan. Nah, puncaknya kita keluarkan SK penarikan. Biasanya kan begitu
alurnya,” ungkap Kepala Cabang FIF Sulut Freeny Meizan, ketika dikonfirmasi
harian ini, kemarin.
Disinggung mengenai perlakuan tidak menyenangkan
oknum debt collector FIF, dirinya hanya menyebutkan, hal itu terlalu
dilebih-lebihkan. “Malahan, pihak kami melakukan penarikan sesuai aturan.
Lengkap surat tugas, serta pengguna kendaraan bukanlah pemilik sebenarnya. Nah,
harusnya berimbangkan. Tidak ada tindakan yang kurang menyenangkan. Semua sudah
sesuai prosedur. Lagian yang bawa motornya, bukan nasabah yang terdaftar di
FIF. Ada dugaan, unit ini bakal digelapkan,” beber Meizan.
Sementara itu, Kepala OJK Sulutgomalut Elyanus
Pongsoda, melalui Kabid Industri Keuangan Non-Bank, Pasar Modal, dan DPK Ahmad
Husain mengatakan, tujuan diberlakukannya fidusia dalam pembiayaan kendaraan
bermotor, tak lebih dari upaya mitigasi risiko yang kemungkinan terjadi.
Umumnya semua perjanjian kerja sama pembiayaan kendaraan bermotor, perusahaan
pasti mengikutsertakan fidusianya.
Nah, untuk pengurusan dan pendaftarannya langsung
ke kantor KemenkumHAM biasanya. Tapi, esensinya sebenarnya, perusahaan tak
lebih melindungi asetnya yang dicicil nasabah. “Bila semua berjalan sesuai
dengan rencana, pastinya tidak ada kejadian ini,” ungkap Husain.
Ditambahkannya, dalam sejumlah kasus yang masuk
ke pihaknya, masih didominasi permasalahan dari perbankan. Kontribusi
permasalahan dari dunia pembiayaan jadi yang tertinggi. “Memang dari perbankan,
tapi sering juga kita menerima pengeluhan dari nasabah perusahaan pembiayaan,”
ujarnya.
Mengevaluasi metode penarikan kendaraan, serta
wajibnya debt collector dibekali surat tugas serta sertifikat profesi,
kata Husain, jadi poin yang harus diutamakan. “Jadi image debt collector
nantinya tidak serem kayak sekarang kan. Mereka juga wajib bersertifikat. Dan
yang terpenting, membawa surat tugas. Ingat, semua kendaraan yang telah
difidusiakan tak bisa dijual nasabah. Bahaya, itu bisa diancam hukuman pidana,”
kuncinya
- Leasing atau Perusahaan Pembiayaan Dilarang Menarik
Secara Paksa Kendaraan dari Nasabah Yang Menunggak Kredit Kendaraan.
(Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/ 2012)
- Leasing Wajib Mendaftarkan Setiap Transaksi Kredit di
Depan Notaris Atas Perjanjian Fidusia. Perjanjian Fidusia Ini Melindungi
Aset Konsumen.
- Tindakan Leasing Yang Sering Menarik Paksa Melalui Jasa
Debt Collector, Dengan Cara Paksa Baik Kendaraan di Rumah Maupun Di Jalan,
Merupakan Tindak Pidana Pencurian dan Tindak Pidana Perampasan. Bisa
Dijerat Pasal 368, Pasal 365 KUHP.
Sumber:
Manadopost.com